Salam dari Jiwa yang Terbelenggu


Kepada Sohibku, Sapiens

Aku merunduk di bawah kaki malam
Bersama sekaleng tembakau panas melingkar berselimut kertas sigaretnya
Esok,
Ketika matari membungkuk memadamkan sinarnya di tanah Maghrib
Rembulan muda menyungging senyum lewat pertanda

Aku telah siap
Karna Malik telah terbiasa merangkul dengan pecutnya
Menarik
Menjerat
Membui kami yang terlarang
Merampas bulir-bulir tawa
Menerjang rumah-rumah kami
Merenggut anak-anak dan istri kami
Kaum kami diskors dalam tugas
Dalam proyek panjang penyengsaraan

Dua sembilan atau tiga puluh itu bukan angka yang lapang
Beberapa dari keturunanku pernah lolos dalam penyergapan
Entah Malik dan para zabaniyah yang bodoh
Ataukah anak-anakku memang merupakan generasi emas yang cerdas
Entahlah....

Tapi biasanya, setelah malam ke tujuh belas tiba
Mereka berbondong-bondong menemui Malik

"Masihkah ada kamar kosong di hotelmu yang megah ini, wahai Malik? Kami lelah.  Homo sapiens bukanlah partner yang baik untuk diajak kerja sama di saat-saat seperti ini," anak-anakku mengiba.

"Apa gerangan yang terjadi, wahai pelanggan setiaku?  Aku melihat keputusasaan membanjiri air mukamu," Malik menyambut mereka.

"Kami lelah, ya Malik.  Para homo sapiens itu sibuk memeras kasih sayang Tuhanmu"
"Oh, begitu.  Mari, silakan masuk. Kusediakan kamar terbaik untuk kalian.  Sampanye dan nanah oplosan ada di kulkas.  Peraduan berduri dengan timah panas baru saja aku siapkan untuk menemani istirahatmu.  Mari, silakan."

Di kamar yang serba merah dan panas ini
Anak-anak menangis di pangkuan ibunya

"Ada apa anakku? Bukannya kalian baru saja bersenang senang di pengasingan Paman Adam?"  Istriku membuka obrolan

"Dua minggu belakangan ini mereka berubah, Ibunda.  Tak mau bermain bersama kami lagi," Si bungsu Masuth menimpali

"Kenapa? Ayo, cerita"

"Entahlah.  Aku sedang tidur bersama pemuda yang subuhnya jam tujuh pagi.   Tapi tak tau mengapa,  saat itu ia terbangun jam tiga dini hari.  Aku terus membujuk dia untuk tidur lagi.  Tapi dia tak mau.  Malah bergegas ke dapur,  memasak, lalu makan dan terjaga hingga subuh tiba.  Begitu seterusnya di malam-malam berikutnya,"  Walhan memulai ceritanya

"Itu belum seberapa adikku.  Abangmu ini telah dikhianati oleh teman-teman geng abang.  Biasanya, saat hari mulai gelap, kami berkumpul di sudut jalan.  Tapi malam itu, tak satu pun dari mereka yang hadir.  Ternyata mereka sibuk berbaris dan membungkuk ke arah kotak Ibrahim berulang-ulang.  Dan itu terjadi di malam-malam berikutnya,"  Sang kakak, Khanzab, tak mau kalah dengan adiknya.

"Ah, Abang.  Itu sudah biasa.  Ini tentang seorang anak kecil yang biasa main denganku di kebun tetangganya.  Siang itu hari sangat panas, sedangkan mangga di kebun itu sangat ranum.  Segar sekali sepertinya.  Aku bujuk dia agar mengambil beberapa buah mangga dari pohon itu untuk kami makan bersama.  Dia menolak.  malah memilih tidur di tengah panasnya siang itu.  Sungguh kejam,"   Zalanbur ikut bercerita

"Aku juga mau cerita.  Sore itu seorang pejabat tinggi yang biasa kongkow dengan aku, mulai ogah-ogahan mencuil sedikit uang rakyatnya.  Malah, Kalian tau? Dia malah bagi-bagi makanan tiap hari sebelum senja tiba.  Padahal saat itu harga-harga sedang naik.  permintaan kebutuhan pokok meningkat.  Tapi dia malah buang-buang uang untuk memberi makan orang-orang yang tak pernah ia kenal.  Edan." 

Aku dan istri ku saling bertatapan
Lalu tersenyum sambil geleng-geleng kepala

"Suatu saat nanti, kalian akan terbiasa dengan semua itu. 
Sekarang kalian istirahatlah" kataku  sambil berayun di rantai baja yang merah membara

Akhirnya nanti
Malam yang menawarkan kebisuan lewat sudah
Marga telah berhenti berdiam diri menyambut Tuhannya
Allah telah selesai mempersembahkan seribu bulan untuk insan pilihan
Sesaat lagi, Sobat
Ketika sabit berikutnya tiba
Kita 'kan berjumpa
Meski mungkin aku harus mulai dari awal lagi
Kaumku memulai persahabatan denganmu dari nol lagi
Aku, istri, dan anak-anakku takkan berhenti
Untuk merajut kebersamaan sebelas bulan berikutnya
Merangkai kenangan indah bersama

Salam rindu dari ku, Azazil

Ramadhan 2012
puisi ini ditulis pada tahun