Sementara Kita Berada di Februari


Sebasahnya embun yang kau usap ketika pagi
Sekedar basahi debu di atas sepatumu dan buku-buku, dan kupu-kupu,dan bunga
Juga sebasahnya hujan yang jatuh siang tadi
Sebatas basah serat-serat sandang dan sedikit daun-ranting di pekarangan dunia
Juga sebasahnya samudra, dan pasir pantai yang abrasi di sore hari
Tak mampu mencium camar di cengkraman cakrawala

Tapi sebasahnya ruhmu malam ini, hai perempuan bermayang sutra
Merasuk hingga lini paling inci dari sel aku
Menusuk hingga pangkal-pangkal nadiku
Larut dalam setiap jengkal tubuh
Membunuh, dari setiap detakan waktu
Sebasah ruhmu, sebasah tatapmu, sebasah bibirmu
Serta segala kelembapan, sebelum Februari, yang kau hadirkan pada setiap persuaan
__________________________________________________
Sementara kita berada di Februari
Sambil disaksikan sisa gerimis di mayangmu
Kau tutup sua tanpa tawa
Jua bibirmu yang seperti tak sempat menjawab sapa

Sementara kita berada di Februari
Jangan kita lanjutkan pacuan kuda ini, pacuan di dada ini
Sedang kita tak kan mampu berharap
Genangan di halaman sekolah mampu memudarkan kisah
Jua celoteh anak-anak di sudut-sudut meja
Tentang jarak dua bola mata
Serta sudut bibirmu yang saling curiga, hai perempuan bermayang sutra

Ah, berhentilah saling bual
Tak perlu banyak hayal
Kau tak mau tau
Ku tak mau ragu
_________________________________________________


Lalu kita sama tak berkawan
Februari baru saja kita tinggalkan
Kita duduk saling berseberangan
Kita lewati jarak dengan sejuta tipu sikap

Lalu apa yang sedang kita kerjakan, hai perempuan bermayang sutra
Buku-buku tak mampu menciptakan bahasa
Agar kita saling bicara, tukar cerita
Atau sekedar sapa
Sementara kita baru saja ditinggal pergi
Oleh Februari yang tak sabar menanti
Juga dinding belakang yang bisu
Juga cermin yang kaku
Dan kertas-kertas penuh kutu

Kita sepasang bangau yang tak mampu berdialog
Aku akan tetap igau tentang besi-besi terbang dan layang-layang
Kau akan tetap irau tentang semesta dan kasih-sayang
Lalu kita sulap bangku-bangku, buku-buku, ragu-ragu, dan kupu-kupu
Menjadi serangkai epilog

Dan kelembapan setiap hadirmu kan menguap, seiring jarangnya kebisuan bersua
Lalu ruhmu-ruhku kehilangan cara untuk menyatu
Dan kita bunuh lumut-lumut itu
Yang tak tau malu tumbuh di setiap permukaan pandang kita
Maka biarkanlah kemarau membakar semuanya
Agar tak lagi ada hati yang bergelora
Dan jiwa-jiwa yang resa menanti sesuatu tiba

Semarang, 10 Februari-3 Maret 2017
puisi ini ditulis pada tahun